Cari Artikel

Jumat, 10 Agustus 2012

Muharram

Asal Penamaan
Nama Muharram berasal dari kata: haram yang artinya suci atau terlarang. Dinamakan Muharram, karena bulan ini termasuk salah satu bulan suci.
(http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)
Keutamaan Bulan Muharram
  1. Termasuk empat bulan haram (suci)
  2. Allah berfirman: إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus..” (QS. At Taubah: 36) Keterangan: a. Yang dimaksud empat bulan haram adalah bulan Dzul Qa’dah, Dzulhijjah, Muharram (tiga bulan ini berurutan) dan Rajab. b. Disebut bulan haram, karena bulan ini dimuliakan masyarakat arab, sejak zaman jahiliyah sampai zaman islam. Pada bulan-bulan haram tidak boleh ada peperangan. c. Az Zuhri mengatakan: كان المسلمون يعظمون الأشهر الحرم Dulu para sahabat menghormati syahrul hurum” (HR. Abdurrazaq dalam al-Mushannaf, 17301)
  3. Dari Abu Bakrah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
  4. الزَّمَانُ قَدِ اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضَ ، السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا ، مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ، ثَلاَثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ ، وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِى بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  5. Dinamakan Syahrullah (Bulan Allah)
  6. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أفضل الصيام بعد رمضان شهر الله المحرم Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim) Keterangan: a. Imam An Nawawi mengatakan: Hadis ini menunjukkan bahwa Muharram adalah bulan yang paling mulia untuk melaksanakan puasa sunnah. (Syarah Shahih Muslim, 8/55) b. As Suyuthi mengatakan: Dinamakan syahrullah – sementara bulan yang lain tidak mendapat gelar ini – karena nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dengan nama : Shafar Awwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dengan Al Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya (Syahrullah). (Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3/252) c. Bulan ini juga sering dinamakan: Syahrullah Al Asham [arab: شهر الله الأصم ] (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena sangat terhormatnya bulan ini (Lathaif al-Ma’arif, hal. 34). karena itu, tidak boleh ada sedikitpun riak dan konflik di bulan ini.
  7. Ada satu hari yang sangat dimuliakan oleh para umat beragama. Hari itu adalah hari Asyura’. Orang yahudi memuliakan hari ini, karena hari Asyura’ adalah hari kemenangan Musa bersama bani israil dari penjajahan Fir’aun dan bala tentaranya. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan:
  8. لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا ، يَعْنِى عَاشُورَاءَ ، فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ ، وَهْوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى ، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ . فَقَالَ « أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ » . فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melihat orang-orang yahudi berpuasa di hari Asyura’. Beliau bertanya: “Hari apa ini?” mereka menjawab: Hari yang baik, hari di mana Allah menyelamatkan Bani israil dari musuhnya, sehingga Musa-pun berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukur kepada Allah. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kami (kaum muslimin) lebih layak menghormati Musa dari pada kalian.” kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. (HR. Al Bukhari)
  9. Para ulama menyatakan bahwa bulan Muharram adalah adalah bulan yang paling mulia setelah Ramadlan
  10. Hasan Al Bashri mengatakan: إن الله افتتح السنة بشهر حرام وختمها بشهر حرام فليس شهر في السنة بعد شهر رمضان أعظم عند الله من المحرم وكان يسمى شهر الله الأصم من شدة تحريمه Allah membuka awal tahun dengan bulan haram (Muharram) dan menjadikan akhir tahun dengan bulan haram (Dzulhijjah). Tidak ada bulan dalam setahun, setelah bulan Ramadlan, yang lebih mulia di sisi Allah dari pada bulan Muharram. Dulu bulan ini dinamakan Syahrullah al-Asham (bulan Allah yang sunyi), karena sangat mulianya bulan ini. (Lathaiful Ma’arif, hal. 34)
Hadis Dlaif Seputar Muharram
  1. Hadis: Siapa yang berpuasa sembilan hari pertama bulan Muharram maka Allah akan bangunkan untuknya satu kubah di udara, yang memiliki empat pintu, tiap pintu jaraknya satu mil. (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Ibnul Jauzi dalam Al Maudlu’at, 2/199, dan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
  2. Hadis: Siapa yang berpuasa hari terakhir bulan Dzulhijjah dan hari pertama bulan Muharram, berarti dia telah mengakhiri penghujung tahun dan mengawali tahun baru dengan puasa. Allah jadikan puasanya ini sebagai kaffarah selama lima tahun. (Hadis dusta, karena di sanadnya ada dua pendusta, sebagaimana keterangan As Syaukani dalam Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 45)
  3. Hadis: Sesungguhnya Allah mewajibkan bani israil berpuasa sehari dalam setahun, yaitu hari ‘Asyura, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram. Karena puasalah kalian di bulan Muharram dan berilah kelonggaran (makan enak dan pakaian baru) untuk keluarga kalian. Karena inilah hari di mana Allah menerima taubat Adam ‘alaihis salam… (Al Fawaid Al Majmu’ah, hal. 46)
  4. Hadis: Siapa yang berpuasa sehari di bulan Muharram maka untuk satu hari puasa dia mendapat pahala puasa tiga puluh hari. (Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al Albani dalam Silsilah Hadis Dlaif, no. 412)
  5. Hadis: Bulan yang paling mulia adalah Al Muharram (Hadis dlaif, sebagaimana keterangan Al Albani dalam Dlaif Al Jami’ As Shagir, no. 1805)
  6. Hadis: Pemimpin umat manusia : Adam, pemimpin bangsa arab : Muhammad, pemimpin bangsa romawi : Shuhaib Ar Rumi, pemimpin bangsa persia : Salman Al Farisi, pemimpin bangsa Habasyah : Bilal bin Rabah, pemimpin gunung : gunung Sina, pemimpin pohon : bidara, pemimpin bulan : Muharram, pemimpin hari : hari jum’at….(Hadis palsu, sebagaimana keterangan Al Albani Dlaif Al Jami’ As Shaghir, no. 7069)
Amalan sunnah di bulan Muharram
  1. Memperbanyak puasa selama bulan Muharram
  2. Dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: أفضل الصيام بعد رمضان ، شهر الله المحرم Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim) Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: ما رأيت النبي صلى الله عليه وسلم يتحرى صيام يوم فضَّلة على غيره إلا هذا اليوم يوم عاشوراء ، وهذا الشهر – يعني شهر رمضان “Saya tidak pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih satu hari untuk puasa yang lebih beliau unggulkan dari pada yang lainnya kecuali puasa hari Asyura’, dan puasa bulan Ramadlan.” (HR. Al Bukhari & Muslim)
  3. Puasa Asyura’ (puasa tanggal 10 Muharram)
  4. Dari Abu Musa Al Asy’ari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan: كان يوم عاشوراء تعده اليهود عيداً ، قال النبي صلى الله عليه وسلم : « فصوموه أنتم ». Dulu hari Asyura’ dijadikan orang yahudi sebagai hari raya. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Puasalah kalian.” (HR. Al Bukhari) Dari Abu Qatadah Al Anshari radliallahu ‘anhu, beliau mengatakan: سئل عن صوم يوم عاشوراء فقال كفارة سنة Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang puasa Asyura’, kemudian beliau menjawab: “Puasa Asyura’ menjadi penebus dosa setahun yang telah lewat.” (HR. Muslim & Ahmad) Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau mengatakan: قَدِمَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمَدِينَةَ وَالْيَهُودُ تَصُومُ عَاشُورَاءَ فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ ظَهَرَ فِيهِ مُوسَى عَلَى فِرْعَوْنَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – لأَصْحَابِهِ « أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ ، فَصُومُوا ». Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai di Madinah, sementara orang-orang yahudi berpuasa Asyura’. Mereka mengatakan: Ini adalah hari di mana Musa menang melawan Fir’aun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabat: “Kalian lebih berhak terhadap Musa dari pada mereka (orang yahudi), karena itu berpuasalah.” (HR. Al Bukhari) Keterangan: Puasa Asyura’ merupakan kewajiban puasa pertama dalam islam, sebelum Ramadlan. Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz radliallahu ‘anha, beliau mengatakan: أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار : ((من أصبح مفطراً فليتم بقية يومه ، ومن أصبح صائماً فليصم )) قالت: فكنا نصومه بعد ونصوّم صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن، فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى يكون عند الإفطار Suatu ketika, di pagi hari Asyura’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang mendatangi salah satu kampung penduduk Madinah untuk menyampaikan pesan: “Siapa yang di pagi hari sudah makan maka hendaknya dia puasa sampai maghrib. Dan siapa yang sudah puasa, hendaknya dia lanjutkan puasanya.” Rubayyi’ mengatakan: Kemudian setelah itu kami puasa, dan kami mengajak anak-anak untuk berpuasa. Kami buatkan mereka mainan dari kain. Jika ada yang menangis meminta makanan, kami memberikan mainan itu. Begitu seterusnya sampai datang waktu berbuka. (HR. Al Bukhari & Muslim) Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, puasa Asyura’ menjadi puasa sunnah. A’isyah radliallahu ‘anha mengatakan: كان يوم عاشوراء تصومه قريش في الجاهلية ،فلما قد المدينة صامه وأمر بصيامه ، فلما فرض رمضان ترك يوم عاشوراء ، فمن شاء صامه ، ومن شاء تركه Dulu hari Asyura’ dijadikan sebagai hari berpuasa orang Quraisy di masa jahiliyah. Setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, beliau melaksanakn puasa Asyura’ dan memerintahkan sahabat untuk berpuasa. Setelah Allah wajibkan puasa Ramadlan, beliau tinggalkan hari Asyura’. Siapa yang ingin puasa Asyura’ boleh puasa, siapa yang tidak ingin puasa Asyura’ boleh tidak puasa. (HR. Al Bukhari & Muslim)
  5. Puasa Tasu’a (puasa tanggal 9 Muharram)
  6. Dari Ibn Abbas radliallahu ‘anhuma, beliau menceritakan: حين صام رسول الله صلى الله عليه وسلم يوم عاشوراء وأمر بصيامه ، قالوا : يا رسول الله ! إنه يوم تعظمه اليهود والنصارى ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : ((فإذا كان العام المقبل ، إن شاء الله ، صمنا اليوم التاسع )) . قال : فلم يأت العام المقبل حتى تُوفي رسول الله صلى الله عليه وسلم Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan puasa Asyura’ dan memerintahkan para sahabat untuk puasa. Kemudian ada sahabat yang berkata: Ya Rasulullah, sesungguhnya hari Asyura adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan nasrani. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tahun depan, kita akan berpuasa di tanggal sembilan.” Namun, belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah diwafatkan. (HR. Al Bukhari) Adakah anjuran puasa tanggal 11 Muharram? Sebagian ulama berpendapat, dianjurkan melaksanakan puasa tanggal 11 Muharram, setelah puasa Asyura’. Pendapat ini berdasarkan hadis: صوموا يوم عاشوراء وخالفوا فيه اليهود وصوموا قبله يوما أو بعده يوما “Puasalah hari Asyura’ dan jangan sama dengan model orang yahudi. Puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya.” (HR. Ahmad, Al Bazzar). Hadis ini dihasankan oleh Syaikh Ahmad Syakir. Hadis ini juga dikuatkan hadis lain, yang diriwayatkan al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubro dengan lafadz: صوموا قبله يوماً وبعده يوماً “Puasalah sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya”. Dengan menggunakan kata hubung وَ (yang berarti “dan”) sementara hadis sebelumnya menggunakan kata hubung أَوْ (yang artinya “atau”). Al-Hafidz Ibn Hajar menjelaskan status hadis di atas: Hadis ini diriwayatkan Ahmad dan al-Baihaqi dengan sanad dhaif, karena keadaan perawi Muhammad bin Abi Laila yang lemah. Akan tetapi dia tidak sendirian. Hadis ini memiliki jalur penguat dari Shaleh bin Abi Shaleh bin Hay. (Ittihaf al-Mahrah, hadis no. 2225) Demikian keterangan Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Munajed. Sementara itu, ulama lain berpendapat bahwa puasa tanggal 11 tidak disyariatkan, karena hadis ini sanadnya dhaif. Sebagaimana keterangan Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth dalam ta’liq musnad Ahmad. Hanya saja dianjurkan untuk melakukan puasa tiga hari, jika dia tidak bisa memastikan tanggal 1 Muharam, sebagai bentuk kehati-hatian. Imam Ahmad mengatakan: Jika awal bulan Muharram tidak jelas maka sebaiknya puasa tiga hari: (tanggal 9, 10, dan 11 Muharram), Ibnu Sirrin menjelaskan demikian. Beliau mempraktekkan hal itu agar lebih yakin untuk mendapatkan puasa tanggal 9 dan 10. (Al Mughni, 3/174. Diambil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 52). Disamping itu, melakukan puasa 3 hari, di tanggal 9, 10, dan 11 Muharram, masuk dalam cakupan hadis yang menganjurkan untuk memperbanyak puasa selama di bulan Muharram. Sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik puasa setelah Ramadlan adalah puasa di bulan Allah, bulan Muharram.” (HR. Muslim) Ibnul Qoyim menjelaskan bahwa puasa terkait hari Asyura ada tiga tingkatan: a. Tingkatan paling sempurna, puasa tiga hari. Sehari sebelum Asyura, hari Asyura, dan sehari setelahnya. b. Tingkatan kedua, puasa tanggal 9 dan tanggal 10 Muharram. Ini berdasarkan banyak hadis. c. Tingkatan ketiga, puasa tanggal 10 saja. (Zadul Ma’ad, 2/72) Bolehkah puasa tanggal 10 saja? Sebagian ulama berpendapat, puasa tanggal 10 saja hukumnya makruh. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamberencana untuk puasa tanggal 9, di tahun berikutnya, dengan tujuan menyelisihi model puasa orang yahudi. Ini merupakan pendapat Syaikh Ibn Baz rahimahullah. Sementara itu, ulama yang lain berpendapat bahwa melakukan puasa tanggal 10 saja tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik, diiringi dengan puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya, dalam rangka melaksanakan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam majmu’ fatawa, Syaikh Ibnu Utsaimin pernah ditanya: Bolehkah puasa tanggal 10 Muharam saja, tanpa puasa sehari sebelumnya atau sehari sesudahnya. Mengingat ada sebagian orang yang mengatakan bahwa hukum makruh untuk puasa tanggal 10 muharram telah hilang, disebabkan pada saat ini, orang yahudi dan nasrani tidak lagi melakukan puasa tanggal 10. Beliau menjawab: Makruhnya puasa pada tanggal 10 saja, bukanlah pendapat yang disepakati para ulama. Diantara mereka ada yang berpendapat tidak makruh melakukan puasa tanggal 10 saja, namun sebaiknya dia berpuasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. Dan puasa tanggal 9 lebih baik dari pada puasa tanggal 11. Maksudnya, yang lebih baik, dia berpuasa sehari sebelumnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Jika saya masih hidup tahun depan, saya akan puasa tanggal sembilan (muharram).” maksud beliau adalah puasa tanggal 9 dan 10 muharram….. Pendapat yang lebih kuat, melaksanakan puasa tanggal 10 saja hukumnya tidak makruh. Akan tetapi yang lebih baik adalah diiringi puasa sehari sebelumnya atau sehari setelahnya. (Majmu’ Fatawa Ibn Utsaimin, 20/42)
Bid’ah – Bid’ah di Bulan Muharram
Ada banyak bid’ah yang dilakukan kaum muslimin terkait bulan Muharram. Baik dalam masalah aqidah dan keyakinan maupun amal harian. Berikut beberapa amal bid’ah di sekitar kita, terkait bulan Muharram:
Pertama, keyakinan bulan Muharram adalah bulan sial
Dalam bahasa jawa, bulan Muharram sering disebut dengan bulan Syura. Sebagian masyarakat jawa berkeyakinan bahwa bulan syura adalah bulan sial. Mereka dihimbau untuk tidak mengadakan kegiatan apapun ketika bulan syura. Siapa yang berani mengadakan kegiatan di bulan syura, awas, itu alamat ciloko.
Pada hakekatnya keyakinan ini adalah keyakinan syirik. Karena berkeyakinan sial terhadap sesuatu tanpa dalil termasuk thiyarah. Dan thiyarah adalah perbuatan kesyirikan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الطيرة شرك الطيرة شرك
Thiyaroh itu syirik, Thiyaroh itu syirik…” (HR. Abu Daud, At Turmudzi, dan dishaihkan Al Albani).
Kita tidak membahas lebih detail masalah ini, mengingat sudah sangat banyak tulisan yang mengupas masalah thiyaroh.
Kedua, Menampakkan kesedihan mendalam di bulan Muharram
Hari Asyura’, tergoreskan satu kenangan pahit bagi kaum muslimin. Bagi orang yang memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan keluarga beliau. Di hari Asyura’ Allah memuliakan Husain bin Ali bin Abi Thalib dengan syahadah. Beliau dibantai di tanah Karbala’ oleh para penghianat dari irak. Kita anggap ini adalah musibah.
Namun perlu diketahui, ada musibah yang jauh lebih besar dari itu, munculnya sikap ekstrim sebagian kaum muslimin karena motivasi mengkultuskan Husain. Mereka menjadikan hari itu sebagai hari berkabung, hari belasungkawa besar-besaran.
Pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara, semua cahaya dimatikan, manusia pada keluar, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan: wahai Husain,.wahai Husain…bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang. Sebagai bentuk bela sungkawa yang mendalam atas kematian Husain. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhutbah menyampaikan kebaikan-kebaikan Husain dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakr As Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan.
Merekalah gerombolan syi’ah Rafidhah, sekelompok manusia yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka syi’ah. Manusia yang beraqidah sesat. Semoga Allah menjauhkan kita dari kejelekan mereka.
Ketiga, Bergembira di hari Asyura’
Kebalikan dengan kelompok sebelumnya. Kelompok ini menjadikan hari Asyura’ sebagai hari raya dan kegembiraan. Merekalah sekelompok orang yang memproklamirkan menjadi musuh syiah rafidhah. Mereka adalah kelompok khawarij dan kelompok menyimpang dari bani umayah. Mereka memiliki prinsip mengambil sikap yang bertolak belakang dengan syi’ah.
Syaikhul Islam Ibn taimiyah mengatakan,
“Dulu di Kufah terdapat kelompok syiah, yang mengkultuskan husain. Pemimpin mereka adalah al-Mukhtar bin Ubaid ats-Tsaqafi al-Kadzab (Sang pendusta). Ada juga kelompok an-Nashibah (penentang), yang membenci Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Salah satu pemuka kelompok an-nashibah adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
سيكون في ثقيف كذاب ومبير
“Akan ada seorang pendusta dan seorang perusak dari bani Tsaqif” (HR. Muslim)
Si pendusta adalah al-Mukhtar bin Ubaid – gembong syiah – sedangkan si perusak adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Orang syiah menampakkan kesedihan di hari asyura, sementara orang khawarij menampakkan kegembiraan. Bid’ah gembira berasal dari manusia pengekor kebatilan karena benci Husain radliallahu ‘anhu, sementara bid’ah gembira berasal dari pengekor kebatilan karena cinta Husain. Dan semuanya adalah bid’ah yang sesat. Tidak ada satupun ulama besar empat madzhab yang menganjurkan untuk mengikuti salah satunya. Demikian pula tidak ada dalil syar’i yang menganjurkan melakukan hal tersebut. (Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, 4/555)
Dan demikianlah kebiasaan ahli bid’ah. Mereka memiliki prinsip ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Orang syi’ah menjadikan hari Asyura sebagai hari berkabung sedunia. Meratapi kematian Husain, menurut anggapan mereka. Di sisi yang berlawanan, orang khawarij dan kelompok menyimpang di kalangan bani Umayah justru menjadikan hari tersebut sebagai hari kebahagiaan, sebagaimana layaknya hari raya. Karena mereka berprinsip untuk tampil ‘beda’ dengan rivalnya (syiah).
Sementara sikap ahlus sunnah adalah pertengahan, sebagaimana sifat umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Allah puji dalam firman-Nya,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
“Demikianlah kami jadikan kalian umat pilihan pertengahan agar kalian menjadi saksi untuk seluruh umat manusia (pada hari kiamat), dan Rasulullah akan menjadi saksi bagi kalian (bahwa dia telah menyampaikan risalah kepada kalian). (QS. Al-Baqarah: 143)
Keempat, anjuran menyantuni anak yatim di hari Asyura
Terdapat sebuah hadis dalam kitab Tanbihul Ghafilin,
من مسح يده على رأس يتيم يوم عاشوراء رفع الله تعالى بكل شعرة درجة
“Siapa yang mengusapkan tangannya pada kepala anak yatim, di hari Asyuro’ (tanggal 10 Muharram), maka Allah akan mengangkat derajatnya, dengan setiap helai rambut yang diusap satu derajat.”
Hadis ini menjadi motivator utama masyarakat untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Sehingga banyak tersebar di masyarakat anjuran untuk menyantuni anak yatim di hari Asyura. Bahkan sampai menjadikan hari Asyura ini sebagai hari istimewa untuk anak yatim.
Namun sayangnya, ternyata hadis di atas statusnya adalah hadis palsu. Dalam jalur sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang bernama: Habib bin Abi Habib, Abu Muhammad. Para ulama hadis menyatakan bahwa perawi ini matruk (ditinggalkan). Untuk lebih jelasnya, berikut komentar para ulama kibar dalam hadis tentang Habib bin Abi Habib:
a. Imam Ahmad: Habib bin Abi Habib pernah berdusta
b. Ibnu Ady mengatakan: Habib pernah memalsukan hadis (al-Maudhu’at, 2/203)
c. Adz Dzahabi mengatakan: “Tertuduh berdusta.” (Talkhis Kitab al-Maudhu’at, 207).
Karena itu, para ulama menyimpulkan bahwa hadis ini adalah hadis palsu. Abu Hatim mengatakan: “Ini adalah hadis batil, tidak ada asalnya.” (al-Maudhu’at, 2/203)
Keterangan di atas sama sekali bukan karena mengaingkari keutamaan menyantuni anak yatim. Bukan karena melarang Anda untuk bersikap baik kepada anak yatim. Sama sekali bukan.
Tidak kita pungkiri bahwa menyantuni anak yatim adalah satu amal yang mulia. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjanjikan dalam sebuah hadis,
أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ كَهَاتَيْنِ فِى الْجَنَّةِ , وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسْطَى , وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا قَلِيلاً
“Saya dan orang yang menanggung hidup anak yatim seperti dua jari ini ketika di surga.” Beliau berisyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah, dan beliau memisahkannya sedikit. (HR. Bukhari no. 5304)
Dalam hadis shahih ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menyebutkan keutamaan menyantuni anak yatim secara umum, tanpa beliau sebutkan waktu khusus. Artinya, keutamaan menyantuni anak yatim berlaku kapan saja. Sementara kita tidak boleh meyakini adanya waktu khusus untuk ibadah tertentu tanpa dalil yang shahih.
Dalam masalah ini, terdapat satu kaidah terkait masalah ‘batasan tata cara ibadah’ yang penting untuk kita ketahui,
كل عبادة مطلقة ثبتت في الشرع بدليل عام ؛ فإن تقييد إطلاق هذه العبادة بزمان أو مكان معين أو نحوهما بحيث يوهم هذا التقييد أنه مقصود شرعًا من غير أن يدلّ الدليل العام على هذا التقييد فهو بدعة
“Semua bentuk ibadah yang sifatnya mutlak dan terdapat dalam syariat berdasarkan dalil umum, maka membatasi setiap ibadah yang sifatnya mutlak ini dengan waktu, tempat, atau batasan tertentu lainnya, dimana akan muncul sangkaan bahwa batasan ini merupakan bagian ajaran syariat, sementara dalil umum tidak menunjukkan hal ini maka batasan ini termasuk bentuk bid’ah.” (Qowa’id Ma’rifatil Bida’, hal. 52)
Karena pahala dan keutamaan amal adalah rahasia Allah, yang hanya mungkin kita ketahui berdasarkan dalil yang shahih.
Allahu a’lam…
***
muslimah.or.id
Penulis: Ustadz Ammi Nur Baits
READ MORE - Muharram

Kamis, 09 Agustus 2012

Wajibkah Taat Kepada Pemerintah?

Saudariku – semoga Allah merahmati kalian- peranan pemerintah atau pemimpin sangatlah penting. Sebuah negara tidak akan tercapai kestabilannya tanpa ada seseorang yang memimpin. Dan tanpa adanya seorang pemimpin dalam sebuah negara tentulah negara tersebut akan menjadi lemah dan mudah terombang-ambing oleh kekuatan luar. Oleh karna itu Islam memerintahkan untuk taat kepada pemimpin karena dengan ketaatan rakyat kepada pemimpin (selama tidak maksiat) maka akan terciptalah keamanan dan ketertiban serta kemakmuran.
Berikut kita simak sedikit pembahasan tentang wajibnya taat kepada pemerintah.
Pengertian penguasa.
Menurt para fuqaha kaum muslimin, al hakim (penguasa) adalah, orang yang (dengannya terjaga) stabilitas sosial disuatu negri, baik ia mendapatkan kekuasaan dengan cara yang disyariatkan atau tidak, baik kekuasaan hukumnya menyeluruh semua negara kaum muslimin, atau terbatas pada satu negri saja.²
Dalil-dalil yang menunjukkan wajibnya taat kepada pemerintah
Nash Al-Quran
Allah berfirman dalam surat An-Nisaa:59:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوااللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِيالْأَمْرِ مِنْكُمْ
“ Hai orang-orang yang beriman taatlah kalian kepada Allah dan taatlah kalian kepada rasul dan ulil amri kalian.”
Allah berfirman dalam surat Al-Anfal: 46:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“ Dan taatlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian saling berselisih, karena akan menyebabkan kalian akan menjadi lemah dan hilang kekuatan, dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
Firman Allah dalam surat Al’imran: 103:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا
“Dan berpegang teguhlah kalian semua pada tali agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah.” ¹
Hadist Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
Disebutkan dalam Shahih Bukhri dan Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
بايعنا رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فقال فيما أخذ علينا أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا وأن لا ننازع الأمر أهله إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله فيه برهان
“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk senantiasa mau mendengar dan taat kepada beliau dalam semua perkara, baik yang kami senangi ataupun yang kami benci, baik dalam keadaan susah atau dalam keadaan senang, dan lebih mendahulukan beliau atas diri-diri kami dan supaya kami menyerahkan setiap perkara-perkara itu kepada ahlinya. Beliau kemudian bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekafiran yang nyata dan bisa kau jadikan hujjah dihadapan Allah.’”
Beliau juga bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ ، فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ ، إِلاَّ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barang siapa yang melihat pada pemimpinnya suatu perkara ( yang dia benci ), maka hendaknya dia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah satu jengkal saja kemudian dia mati,maka dia mati dalam keadaan jahiliyyah.” (HR. Bukhari)
Beliau juga bersabda,
من خلع يدا من طاعة لقي الله يوم القيامة لا حجة له
“Barang siapa yang melepaskan tangannya bai’atnya (memberontak) hingga tidak taat ( kepada pemimpin ) dia akan mememui Allah dalam keadaan tidak berhujjah apa-apa.” (HR. Muslim)
Beliau juga bersabda,
اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِىٌّ
“Dengar dan taatlah kalian kepada pemimpin kalian, walaupun dia seorang budak Habsy.” (HR. Bukhari)
Beliau juga bersabda,
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره إلا أن يؤمر بمعصية فإن أمر بمعصية فلا سمع ولا طاعة
“ Wajib atas seorang muslim untuk mendengar dan taat (kepada pemimpin –ed.-) baik dalam perkara yang ia sukai atau dia benci, kecuali dalam kemaksiatan. Apabila dia diperintah untuk maksiat, tidak boleh mendengar dan taat.” ¹
Perkataan Para Ulama.
Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata, “Para fuqaha bersepakat atas wajibnya taat kepada imam yang mutaghallib (berkuasa melalui perang , kudeta, atau cara represif lainnya, Pent.
Imam Al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin muhammad bin Abi al-Izz ad-Dimasqy rahimahullah (terkenal dengan ibnu Abil ‘Izz wafat th. 792 H), berkata : Hukum mentaati ulil Amri adalah wajib (selama tidak dalam kemaksiatan) meskipun mereka berbuat zhalim, karena kalau keluar dari ketaatan kepada mereka akan menimbulkan kerusakan yang berlipat ganda dibanding dengan kezhaliman penguasa itu sendiri. Bahkan bersabar terhadap kezhaliman mereka dapat melebur dosa-dosa dan dapat melipat gandakan pahala. Karena Allah ’azza wajalla tidak akan menguasakan mereka atas diri kita melainkan disebabkan kerusakan amal perbuatan kita juga. Ganjaran itu tergantung amal perbuatan. Maka hendaklah kita bersungguh-sungguh memohon ampun, bertaubat dan memperbaiki amal perbuatan.
Imam Al-Barbahari rahimahullah (wafat tahun 329 H) dalam kitabnya Syarhus Sunnah berkata , “Jika engkau melihat seseorang mendo’akan keburukan kepada pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk salah satu pengikut hawa nafsu, namun jika engkau melihat seseorang mendoakan kebaikan kepada seorang pemimpin, ketahuilah bahwa ia termasuk Ahlus Sunnah, insya Allah.”
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Jika aku mempunyai do’a yang baik yang akan dikabulkan, maka semuanya akan aku tujukan bagi para pemimpin.”  ia ditanya: “Wahai Abu ‘Ali jelaskan maksud ucapan tersebut?” Beliau berkata: “Apabila do’a itu hanya aku tujukan untuk diriku sendiri, tidak lebih hanya bermanfaat bagi diriku, namun apabila aku tujukan kepada pemimpin dan para pemimpin berubah menjadi baik, maka semua orang dan negara akan merasakan manfaat dan kebaikannya.” ³
Kita memohon ampunan kepada Allah Ta’ala untuk seluruh kaum muslimin dan menjadikan kita rakyat yang selalu bertakwa kepada-Nya dan taat kepada pemimpin. Kita juga memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan para pemimin kaum muslimin senantiasa berada dalam ketakwaan dan diberi kekuatan untuk memimpin negara dengan adil, terutama untuk presiden kita. Amin yaa mujiba saailiin
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ismianti Ummu Maryam
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits
READ MORE - Wajibkah Taat Kepada Pemerintah?

Selasa, 07 Agustus 2012

Tak Hanya Wanita yang Harus Bercermin

Dalam sebagian konflik rumah tangga, terkadang istrilah yang sering merasa bersalah. Hal ini dikarenakan fitrah wanita yang lebih mendahulukan perasaannya yang lembut. Sehingga mungkin kesalahan itu berasal dari suami namun sang istri yang capek-capek berkaca (introspeksi diri). Dengan demikian mana mungkin konflik akan selesai sedangkan sumber masalahnya tidak mau untuk menyatakan bahwa dirinya keliru.
Artikel ini sekaligus untuk membuka hati nurani setiap suami agar lebih berintrospeksi diri agar tercipta keluarga sakinah, mawaddah dan warahmah. Sudah benarkah diri Anda wahai para suami? Keluarga yang diidam-idamkan oleh setiap pasangan suami istri adalah keluarga yang bahagia dunia hingga akhirat, bersatu padu dan bahu membahu untuk melewati masa didunia yang hanya sebentar ini, mengalahkan hawa nafsu dan melakukan ketaatan-ketaatan kepada-Nya.
Di bawah ini akan dikemukakan 10  gambaran ringkas tentang kesalahan-kesalahan penting yang banyak dilakukan para suami:
Tidak mengajarkan agama dan hukum syariat kepada Istri
Disana, kita dapati banyak para istri yang tidak mengetahui bagaimana cara shalat yang benar, bagaimana hukum haidh dan nifas, bagaimana berperilaku terhadap suami secara syar’i, bagaimana mendidik anak secara Islam. Bahkan terkadang ada diantara para istri yang terjerumus ke dalam berbagai jenis kesyirikan.
Akan tetapi sayang, yang menjadi perhatian besar bagi sang istri adalah bagaimana cara memasak dan menghidangkan makanan tertentu, bagaimana cara berdandan yang cantik dan sebagainya. Tidak  lain karena memang suami yang sering menuntut hal itu dari sang istri. Sedangkan masalah agamanya, tentang ibadahnya, tidak pernah ditanyakan oleh suami.
Tidak ragu lagi, ini adalah pengabaian suami terhadap kewajibannya memelihara keluarga dari api neraka. Padahal Allah Subhanahu wata’ala telah berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (Qs At Tahrim:6)
Maka hendaknya suami tidak mengabaikan hal ini, karena mereka akan dimintai pertanggungjawaban atasnya. Dan hendaknya suami benar-benar berusaha mengajarkan agama kepada istrinya, baik dia lakukan sendiri atau dengan perantaraan-perantaraan yang lain. Dan diantara cara yang bisa ditempuh untuk mengajarkan agama kepada istri:
  1. Menghadiahkan buku-buku tentang Islam dan hukum-hukumnya, kemudia mempelajarinya dan mendiskusikannya bersama istri. Bisa juga memintanya untuk meringkas isi buku tersebut
  2. Menghadiahkan kaset-kaset ceramah, dan meminta istri untuk meringkaskannya
  3. Mengajaknya menghadiri pengajian-pengajian yang disampaikan oleh orang yang berilmu
  4. Mengenalkannya kepada wanita-wanita shalihah, sehingga dia bisa bersahabat dan mengambil manfaat dari mereka.
  5. Membangun perpustakaan yang berisi buku-buku islam dirumah.
  6. Memberikan hadiah khusus kepadanya jika mampu menghafal sebagian dari Al Qur’an atau hadits
  7. Mendorongnya mendengarkan radio-radio islam
  8. Dan sarana-sarana lain yang masih banyak.
Mencari-cari kekurangan dan kesalahan istri
Dalam suatu hadits riwayat al Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasalam melarang laki-laki yang bepergian dalam waktu yang lama, pulang menemui keluarganya di waktu malam. Hal itu karena dikhawatirkan laki-laki tersebut akan mendapati berbagai kekurangan dan cela istrinya. Dan barangsiapa mencari-cari aib saudara sesama muslim, Allah akan mencari-cari aibnya. Barangsiapa dicari aibnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walaupun dia berada di ruang tersembunyi dalam rumahnya.
Bahkan hendaknya seorang suami bersabar dan menahan diri dari kekurangan yang ada pada istrinya, juga ketika istri tidak melaksanakan kewajibannya dangan benar. Rasulullah Shalallahu’alaihi wasalam bersabda,
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
Bersikap baiklah kepada para istri. Karena mereka tercipta dari tulang rusuk. Dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atas. Jika kamu hendak meluruskannya niscaya kamu akan mematahkannya. Dan jika kamu biarkan maka dia akan tetap bengkok. Maka bersikap baiklah kepada para istri.” (Muttafaqun’alaih)
Hadits ini memiliki pelajaran yang sangat agung, diantaranya; meluruskan bengkoknya istri harus dengan lembut sehingga tidak mematahkannya, namun juga tidak dibiarkan saya karena jika dibiarkan dia tetap bengkok. Apalagi jika bengkoknya itu bisa menjalar menjadi kemaksiatan atau kemungkaran.
Dan ingatlah sabda Rasulullah shalallahu’alaihi wasalam,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
Janganlah seorang suami yang beriman membenci istrinya yang beriman. Jika dia tidak menyukai satu akhlak darinya, dia pasti meridhai akhlak lain darinya.” (HR Muslim)
Pemberian hukuman yang tidak sesuai dengan kesalahan istri
Ini termasuk bentuk kezhaliman terhadap istri. Diantara bentuk hukuman yang zhalim itu:
- Menggunakan pukulan di tahap awal pemberian hukuman. Padahal Allah ta’ala berfirman,
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”(Qs An Nisa’:34)
Maka tahapan yang benar adalah nasihat terlebih dahulu, kemudian pisah di tempat tidur, kemudian baru dengan pukulan yang bukan untuk menyakiti.
- Mengusir istri dari rumahnya tanpa ada pembenaran secara syar’i. Allah ta’ala berfirman yang artinya:
لا تُخْرِجُوهُنَّ مِنْ بُيُوتِهِنَّ وَلا يَخْرُجْنَ إِلا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ
Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang .” Qs Ath Thalaq:1
- Memukul wajah, mencela dan menghina. Ada seseorang yang datang bertanya kepada Rasulullah, apa hak istri atas suaminya? Beliau menjawab,
أَنْ يُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمَ وَأَنْ يَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَى وَلَا يَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا يُقَبِّحْ وَلَا يَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
Dia (suami) memberinya makan jika dia makan, memberinya pakaian jika dia berpakaian, tidak memukul wajah, tidak menjelek-jelekkan dan tidak menghajr (boikot) kecuali di dalam rumah.” (HR Ibnu Majah, dishahihkan oleh Al Albani)
Pelit dalam menafkahi istri
Sesungguhnya kewajiban suami memberi nafkah kepada istri telah ditetapkan dalam al Qur’an, hadits dan juga ijma’. Allah berfirman:
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” Qs Al-Baqarah:233
Istri berhak mendapat nafkah, karena dia telah membolehkan suaminya bersenang-senang dengannya, dia telah menaati suaminya, tinggal dirumahnya, mengatur rumahnya, mengasuh dan mendidik anak-anaknya.
Dan jika seorang istri mendapatkan suami yang pelit, bakhil, tidak memberi nafkah kepadanya tanpa ada pembenaran syar’i, maka dia boleh mengambil harta suami untuk mencukupi kebutuhannya secara ma’ruf (tidak berlebihan), meski tanpa sepengetahuan suami.
Dan bagi suami, hendaknya memperhatikan sabda Nabi shallallahu’alaihi wasalam,
إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ
Jika seorang muslim mengeluarkan nafkah untuk keluarganya, sedangkan dia mengharapkan pahalanya, maka nafkah itu adalah sedekah baginya.” (Muttafaq’alaih)
Sikap keras, kasar, dan tidak lembut terhadap Istri
Rasulullah shallallahu ’alahi wasalam telah bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Mukmin yang paling sempurna adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR Tirmidzi, dishahihkan al Albani)
Maka hendaknya seorang suami berakhlak bagus terhadap istrinya, dengan bersikap lembut, dan menjauhi sikap kasar. Diantara bentuk sikap lembut seorang suami kepada istri seperti membahagiakan istri dengan canda-canda yang dibolehkan, berlomba dengan istrinya, menyuapi makanan untuk istrinya, memanggilnya dengan panggilan-panggilan mesra dan lain sebagainya.
Kesombongan suami membantu istri dalam urusan rumah
Ini adalah satu kesalahan yang mungkin banyak menjangkiti suami yang telah menyadari bahwa dirinya adalah pemimpin dalam keluarga, yang harus ditaati. Bahkan ada di antara mereka yang menganggapnya sebagai bentuk kejantanan, sedangkan membantu pekerjaan rumah adalah suatu hal yang merusak kelaki-lakiannya.
Padahal, laki-laki yang paling utama, yakni Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak segan-segan membantu pekerjaan istrinya. Ketika ‘Aisyah ditanya tentang apa yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dirumahnya, beliau menjawab,
كَانَ يَكُونُ فِي مِهْنَةِ أَهْلِهِ فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ خَرَجَ
Beliau membantu pekerjaan istrinya. Dan jika datang waktu shalat, maka beliau pun keluar untuk shalat.” (HR Bukhari)
Menyebarkan rahasia dan aib istrinya
Nabi shallallahu’alaihi wasalam telah bersabda,
أَشَرِّ النَّاسِ عِنْدَ اللَّهِ مَنْزِلَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ الرَّجُلَ يُفْضِي إِلَى امْرَأَتِهِ وَتُفْضِي إِلَيْهِ ثُمَّ يَنْشُرُ سِرَّهَا
Sesungguhnya di antara orang yang paling buruk kedudukannya di sisi Allah pada hari kiamat adalah seseorang yang menggauli istrinya dan istrinya menggaulinya, kemudian dia menyebarkan rahasia-rahasia istrinya.” (HR Muslim)
Imam Nawawi rahimahullah berkata menjelaskan hadits ini, “Dalam hadits ini, diharamkan seorang suami menyebarkan apa yang terjadi antara dia dengan istrinya dari perkara jima’. Juga diharamkan menyebutkan perinciannya, serta apa yang terjadi pada istrinya baik berupa perkataan maupun perbuatan dan yang lain.”
Keterburu-buruan dalam menceraikan istri
Wahai suami yang mulia, sesungguhnya hubungan antara engkau dan istrimu adalah hubungan yang kuat lagi suci. Hal ini bisa ditunjukkan dengan penamaan hubungan pernikahan ini sebagai al-miitsaq al-ghalizh ( perjanjian yang kuat).
وَأَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا
Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Qs An Nisa:21)
Oleh karena itu, islam menganggap perceraian adalah perkara besar yang tidak bisa diremehkan. Karena perceraian akan berbuntut kepada rusaknya rumahtangga, kacaunya pendidikan anak dan lain sebagainya. Maka sangat tidak pantas bagi seorang muslim untuk menceraikan istrinya, tanpa pembenaran yang bisa diterima.
Wahai suami yang mulia, sesungguhnya talak(perceraian) tidaklah disyariatkan dalam islam untuk dijadikan sebagai pedang yang dihunuskan ke leher para istri, sebagaimana diyakini oleh sebagian suami. Tidak pula disyariatkan untuk dijadikan sebagai sumpah dalam rangka menguatkan dan menegaskan berita, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Tidak pula untuk memuliakan tamu, atau untuk mendorong oranglain melakukan suatu hal atau meninggalkan sesuatu, sebagaimana biasa dilakukan sebagian orang ketika berbicara kepada temannya, “Akan aku ceraikan istriku kecuali engkau melakukan ini dan itu …” Maka ini adalah kesalahan dan penyimpangan besar dalam penggunaan yang disyariatkan ini.
Dan hendaknya kata-kata cerai itu tidak digunakan sebagai bahan canda atau mainan. Karena Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam telah bersabda,
ثَلَاثٌ جَدُّهُنَّ جَدٌّ وَهَزْلُهُنَّ جَدٌّ النِّكَاحُ وَالطَّلَاقُ وَالرَّجْعَةُ
Tiga perkara yang seriusnya adalah serius dan candanya adalah dinilai serius, yaitu; nikah, perceraian, dan rujuk.” (HR Abu Daud, at Tirmidzi dan Ibnu Majah, dinilai hasan oleh al-Albani)
Ketahuilah, sesungguhnya islam tidak lari dari berbagai kenyataan yang terjadi. Memang perselisihan antar suami istri kadang terjadi dan bisa mengarah kepada perceraian. Akan tetapi perceraian ini tidak boleh dijadikan sebagai langkah pertama dalam menyelesaikan perselisihan ini.
Bahkan harus diusahakan dengan berbagai cara terlebih dahulu untuk menyelesaikannya, sebelum melakukan perceraian.  Maka janganlah seorang suami terburu atau tergesa-gesa dalam mencerai istrinya, karena kemungkinan besar dia akan banyak menyesal.
Dan perlu diketahui oleh setiap suami, dia tidak boleh mencerai istrinya ketika sedang haidh, atau ketika suci namun telah digauli pada masa suci itu, atau mencerainya dengan tiga kali talak dalam sekali waktu.
Berpoligami tanpa memperhatikan ketentuan syariat
Tidak ragu lagi bahwa menikah untuk yang kedua kali, ketiga kali dan yang keempat kali merupakan salah satu perkara yang Allah syariatkan. Akan tetapi yang menjadi catatan di sini bahwa sebagian orang yang ingin menerapkan syariat ini atau yang memang benar telah menerapkannya, tidak memperhatikan sikapnya yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban serta tanggung jawabnya terhadap para istri. Terutama istri yang pertama dan anak-anaknya. Padahal Allah subhanahu wata’ala telah berfirman,
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” Qs An Nisa: 3
Dan sikap semacam ini jelas bukan merupakan keadilan yang Allah perintahkan.
Wahai para suami yang mulia, sesungguhnya poligami memang benar merupakan syariat islam. Akan tetapi, jika seseorang tidak mampu melaksanakannya dengan baik, tidak memenuhi syarat-syaratnya atau tidak bisa memikul tanggung jawabnya, hal ini hanya akan merusak rumah tangga, menghancurkan anak-anak dan akan menambah permasalahan keluarga dan masyarakat.
Maka ukurlah akibatnya, perhatikan dengan seksama perkaranya, sebelum masuk kedalamnya. Semoga Allah merahmati orang yang mengetahui kapasitas dirinya.
Lemahnya kecemburuan
Inilah salah satu penyakit yang sangat disayangkan telah banyak tersebar dikalangan kaum muslimin. Sangat banyak sekali para suami yang membiarkan keelokan, keindahan dan kecantikan istrinya dinikmati oleh banyak orang. Dia membiarkan istrinya menampakkan auratnya ketika keluar rumah, membiarkannya berkumpul-kumpul dengan lelaki lain. Bahkan ada sebagian orang yang merasa bangga jika memiliki istri cantik yang bisa dinikmati oleh siapa saja yang melihatnya. Padahal seorang wanita di mata islam adalah makhluk yang sangat mulia, sehingga keindahan dan keelokkannya hanya diperuntukkan bagi suaminya saja, tidak diumbar kemana-mana.
Seorang suami yang memiliki kecemburuan terhadap istri, tidak akan membiarkan istrinya berjabat tangan dengan lelaki yang bukan mahram. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasalam bersabda,
Ditusuknya kepala seorang lelaki dengan jarum dari besi lebih baik daripada dia menyentuh seorang wanita yang tidak halal baginya.” (Ash Shahihah:226)
Seorang suami yang memiliki kecemburuan terhadap istri, dia kan memperhatikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Janganlah kalian masuk menemui para wanita.” Lalu seorang Anshar berkata, wahai Rasulullah, bagaimana dengan al-hamw(kerabat suami)?Beliau mengatakan, “Al hamwu adalah kematian.”(Muttafaqun’alaih)
Perhatikan juga ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap lelaki yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarga (istri)nya. Beliau bersabda,
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ
Tiga golongan manusia yang Allah tidak akan melihat mereka pada hari kiamat; seorang yang durhaka kepada kedua orangtuanya, wanita yang menyerupai laki-laki dan ad-dayyuts.” (HR An Nasa’i, dinilai hasan oleh Al Albani, lihat Ash Shahihah:674)
Dan yang dimaksud dengan ad-dayyuts adalah laki-laki yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarganya.
Jika Anda termasuk mempunyai salah satu atau bahkan lebih kesalahan-kesalahan diatas, maka segeralah taubat. Laksana istrimu yang dengan mudahnya mengulurkan tangan dengan penuh senyuman untuk meminta maaf, hendaknya dirimu wahai para suami meneladaninya, menekan rasa egomu, dan katakan “Maafkan kesalahanku selama ini, Duhai sayangku.” Maka badai yang menerjang biduk kapal rumah tanggamu laksana tergantikan dengan semilir angin sepoi yang membawanya ke dermaga cinta. Segala masalah bisa hilang begitu saja, dengan ucapan itu. Sungguh beruntunglah wahai istri yang memiliki suami penuh dengan kerendah hatian seperti itu. Wallahu a’lam.
***
muslimah.or.id
Diambil dari Sakinah vol 8 no 11, safar-rabiul awal 1431, dengan sedikit pengeditan.
READ MORE - Tak Hanya Wanita yang Harus Bercermin

Senin, 06 Agustus 2012

Doamu Tak Kunjung Terkabul? Mungkin Ini Penyebabnya

Saudariku, semoga Allah menyayangi diriku dan juga dirimu…. Melakukan kesalahan dalam berdoa bisa menjadi salah satu penyebab sehingga doa tak kunjung terkabul. Mengenali berbagai kesalahan dalam berdoa merupakan salah satu bentuk ikhtiar agar Allah berkenan mengabulkan doa kita.
Saudariku, semoga Allah memberi ilmu yang bermanfaat kepada diriku dan juga dirimu…. Tahukah engkau apa saja kesalahan-kesalahan yang sering terjadi dalam berdoa?
1. Menyepelekan kekhusyukan dan perendahan diri di hadapan Allah ketika berdoa.
Allah ta’ala berfirman,
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Q.S. Al-A’raf:55)
Allah ta’ala juga berfirman,
إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَباً وَرَهَباً وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ
“Sesungguhnya, mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) segala kebaikan, dan mereka berdoa kepada Kami dengan penuh harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyuk kepada Kami.” (Q.S. Al-Anbiya’:90)
Seseorang yang berdoa seharusnya bersikap khusyuk, merendahkan diri di hadapan Allah, tawadhu’, dan menghadirkan hatinya. Kesemua ini merupakan adab-adab dalam berdoa. Seseorang yang berdoa juga selayaknya memendam keinginan mendalam agar permohonannya dikabulkan, dan dia hendaknya tak henti-henti meminta kepada Allah. Seyogianya, dia selalu ingin menyempurnakan doanya dan memperbagus kalimat doanya, agar doa tersebut terangkat menuju Al-Bari (Dzat yang Maha Mengadakan segala sesuatu), dan itu dilakukannya hingga Allah mengabulkan doa itu.
Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadits, yang sanadnya dinilai hasan oleh Al-Mundziri, dari Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian berdoa kepada Allah maka berdoalah kepada-Nya dengan penuh keyakinan bahwa doa tersebut akan dikabulkan. Sesungguhnya, Allah tidaklah mengabulkan doa seorang hamba, yang dipanjatkan dari hati yang lalai.”
2. Putus asa, merasa doanya tidak akan terkabul, serta tergesa-gesa ingin doanya segera terwujud.
Sikap-sikap semacam ini merupakan penghalang terkabulnya doa. Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
يستجاب لأحدكم ما لم يعجل يقول دعوت فلم يستجب لي
Doa yang dipanjatkan seseorang di antara kalian akan dikabulkan selama dia tidak tergesa-gesa. Dirinya berkata, ‘Aku telah berdoa namun tidak juga terkabul.’
Telah diketengahkan, bahwa seseorang yang berdoa sepatutnya yakin bahwa doanya akan dikabulkan, karena dia telah memohon kepada Dzat yang Paling Dermawan dan Paling Mudah Memberi.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ
Dan Rabbmu berfirman, ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.
(Q.S. Al-Mu’min:60)
Barang siapa yang belum dikabulkan doanya, jangan sampai lalai dari dua hal:
  • Mungkin ada penghalang yang menghambat terkabulnya doa tersebut, seperti: memutus hubungan kekerabatan, bersikap lalim dalam berdoa, atau mengonsumsi makanan yang haram. Secara umum, seluruh perkara ini menjadi penghalang terkabulnya doa.
  • Boleh jadi, pengabulan doanya ditangguhkan, atau dia dipalingkan dari keburukan yang semisal dengan isi doanya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu,
أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” ما من مسلم يدعو بدعوة ليس فيها إثم ولا قطيعة رحم إلا أعطاه الله بها إحدى ثلاث : إما أن يعجل له دعوته وإما أن يدخرها له في الآخرة وإما أن يصرف عنه من السوء مثلها ” قالوا : إذن نكثر قال : ” الله أكثر “
Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang muslim memanjatkan doa yang tidak mengandung dosa dan tidak pula pemutusan hubungan kekerabatan, melainkan Allah akan memberinya salah satu di antara tiga hal: doanya segera dikabulkan, akan disimpan baginya di akhirat, atau dirinya akan dijauhkan dari keburukan yang senilai dengan permohonan yang dipintanya.” Para shahabat berkata, “Kalau begitu, kami akan banyak berdoa.” Rasulullah menanggapi, “Allah lebih banyak (untuk mengabulkan doa kalian).” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Ya’la dengan sanad jayyid; hadits ini berderajat sahih dengan adanya beberapa hadits penguat dari jalur ‘Ubadah bin Shamit yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Al-Hakim, serta dari jalur Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Ahmad dan selainnya.)
3. Berdoa dengan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta bertawasul dengannya.
Tindakan ini merupakan salah satu bentuk bid’ah dan bentuk kelaliman dalam berdoa. Dasarnya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan cara berdoa semacam itu kepada seorang shahabat pun. Ini membuktikan bahwa berdoa dengan menggunakan kedudukan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawasul dengan para pemilik kedudukan adalah amalan bid’ah, serta merupakan sebuah cara ibadah baru yang dikarang-karang tanpa dalil. Demikian juga dengan segala bentuk sarana yang berlebih-lebihan (ghuluw) yang menyebabkan doa terhalang untuk terkabul.
Adapun riwayat,
اسألوا بجاهي فإن جاهي عند الله عظيم
Bertawasullah dengan kedudukanku! Sesungguhnya, kedudukan sangat mulia di sisi Allah,
maka riwayat ini merupakan sebuah kedustaan besar atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak sahih disandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
4. Bersikap lalim dalam berdoa, misalnya: doa yang isinya perbuatan dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan.
Sebagaimana tiga perkara yang disebutkan, perkara keempat ini juga menjadi salah satu penghalang terkabulnya doa seorang hamba. Sungguh, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda,
سيكون قوم يعتدون في الدعاء
Akan muncul sekelompok orang yang lalim dalam berdoa.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan yang lainnya; hadits hasan sahih)
Allah ta’ala berfirman,
ادْعُواْ رَبَّكُمْ تَضَرُّعاً وَخُفْيَةً إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Berdoalah kepada Rabbmu dengan berendah diri dan suara yang lembut.” (Q.S. Al-A’raf:55)
Contoh sikap lalim: berdoa agar bisa melakukan dosa, agar bencana ditimpakan, atau supaya hubungan kekerabatan terputus. Sebagaimana hadits riwayat At-Tirmidzi dan selainnya dari Ubadah bin Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ما على الارض مسلم يدعو الله بدعوة إلا آتاه الله إياها ، أو صرف عنه من السوء مثلها ، ما لم يدع بإثم أو قطيعة رحم
Di muka bumi ini, tidak ada seorang muslim pun yang memanjatkan doa kepada Allah melainkan Allah pasti akan memberi hal yang dipintanya atau Allah akan memalingkannya dari keburukan yang senilai dengan isi doanya, sepanjang dia tidak memohon doa yang mengandung dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan.” (H.r. Turmudzi dan Ahmad; dinilai sebagai hadits hasan-shahih oleh Al-Albani)
Saudariku, bersabarlah dalam menanti terkabulnya doa, perbanyak amalan saleh yang bisa menjadi sebab terwujudnya doa, dan jauhi segala kesalahan yang bisa menyebabkan doa tidak kunjung terkabul. Semoga Allah merahmati kita ….
Kita pungkasi tulisan ini dengan memohon kepada Allah, agar Dia tidak menolak doa kita.
اَللَّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا
Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyuk, dari jiwa yang tidak pernah puas, juga dari doa yang tidak terkabul.”
(H.R. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i; hadits sahih)
***
muslimah.or.id
Penulis: Ummu Asiyah Athirah
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
READ MORE - Doamu Tak Kunjung Terkabul? Mungkin Ini Penyebabnya

Minggu, 05 Agustus 2012

Mendefinisikan Kebahagiaan

Kebahagiaan…, sering sekali kita mendengarnya. Bahkan hampir tidak ada seorang pun di muka bumi ini yang tidak ingin mendapatkannya. Namun apabila kita tanyakan kepada mereka, apakah yang mereka maksud dengan kebahagiaan, maka niscaya ribuan jawaban akan terlontar dari mulut mereka. Sekelompok orang akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah melimpahnya harta dan berbagai kesenangan dunia. Sekelompok orang yang lain akan mengatakan bahwa kebahagiaan adalah kebebasan untuk berkreasi dan keberhasilan menyingkap rahasia-rahasia ilmu pengetahuan. Ada lagi yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah ketenangan hati dan bebas dari rasa takut dan kesedihan. Saudaraku, apabila kita cermati sekali lagi sekian banyak jawaban mereka maka tidak ada jawaban yang bisa melegakan hati orang yang beriman kecuali firman Allah dan sabda Rasul-Nya serta untaian nasihat para ulama. Simaklah sebuah do’a yang indah dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah bagi setiap muslim yang membaca kitabnya Al Qawa’idul Arba‘. Beliau berkata, “Aku memohon kepada Allah yang Maha Pemurah, Rabb pemilik Arsy yang Maha Besar, semoga Allah menjagamu di dunia dan di akhirat dan menjadikanmu mendapatkan keberkahan di manapun kamu berada, dan menjadikanmu bersyukur jika diberi nikmat, bersabar jika ditimpa cobaan dan beristighfar jika terjerumus dalam dosa. Karena sesungguhnya tiga hal itulah ciri utama kebahagiaan.”
Syukur tatkala mendapatkan nikmat
Hakikat syukur adalah mengakui di dalam hati bahwa nikmat yang diperolehnya berasal dari Allah, kemudian menampakkan rasa syukurnya itu dengan memuji Allah serta menggunakan nikmat yang diberikan itu dalam rangka melakukan ketaatan. Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk bersyukur di dalam firman-Nya yang artinya, “Dan bersyukurlah kalian kepada-Ku dan janganlah kalian kufur.” (QS. Al Baqarah: 152). Di dalam ayat lain Allah telah menjanjikan bagi orang yang bersyukur bahwa dia akan mendapatkan tambahan nikmat. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sungguh jika kalian bersyukur niscaya Aku benar-benar akan menambahkan (nikmat) kepada kalian, dan apabila kalian justru ingkar maka sesungguhnya siksa-Ku amatlah pedih.” (QS. Ibrahim: 7). Walaupun demikian ternyata hanya sebagian kecil hamba Allah yang pandai bersyukur. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan amat sedikit diantara hamba-hamba-Ku yang pandai bersyukur.” (QS. Saba’: 13). Padahal tidakkah kita sadar bahwa sekian banyak nikmat yang ada pada diri kita ini semuanya berasal dari Allah saja. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan nikmat apapun yang ada pada diri kalian maka itu semua berasal dari Allah.” (QS. An Nahl: 53). Apabila kita ingin menghitung seluruh nikmat itu, pasti tidak ada seorang manusia pun yang sanggup menghitungnya. Sebagaimana telah difirmankan oleh Allah Ta’ala yang artinya, “Dan jika kalian berusaha menghitung nikmat Allah maka kalian tidak akan mampu menghingganya.” (QS. Ibrahim: 34).
Nah, lalu dengan alasan apakah kita menyombongkan diri atau bahkan mengingkari sekian banyak nikmat ini? Tidakkah kita ingat bagaimana buah dari kecongkakan Qarun yang berani berkata, “Sesungguhnya ini semua aku dapatkan hanya berkat ilmu yang aku punyai.” Maka apakah yang diperolehnya ? Sebuah siksa yang sangat mengerikan. Semua harta yang dibangga-banggakannya dibenamkan ke dalam perut bumi oleh Allah bersama tubuhnya. Duhai, adakah orang yang mau mengambil pelajaran?!!
Bersabar ketika mendapatkan cobaan
Cobaan adalah satu hal yang pasti dialami setiap insan. Oleh karena itu, Allah berfirman di dalam Al Qur’an yang artinya, “Dzat yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakah diantara kalian yang paling baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2). Dalam ayat lain Allah menyatakan, “Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa lapar serta ketakutan dan kekurangan harta, maka berilah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar…” (QS. Al Baqarah: 155).
Sabar tatkala mendapatkan cobaan artinya menahan diri untuk tidak menyimpan kemarahan di dalam hati kepada keputusan Allah, menahan diri dari mengucapkan kata-kata laknat atau meratap atau caci maki, dan juga menahan anggota badan dari melakukan tindakan-tindakan yang merupakan pelampiasan kemarahan dan tidak menerima takdir seperti menampar-nampar pipi, merobek-robek kain atau bahkan menjerit-jerit. Kenapa hal-hal itu tidak diperbolehkan? Alasannya adalah karena sikap–sikap tersebut mencerminkan ketidakpuasan terhadap takdir yang sudah ditetapkan oleh Allah. Padahal Allah itu Maha bijaksana dan Maha adil. Allah tidak pernah menganiaya hamba-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan Rabbmu tidak pernah menganiaya siapapun.” (QS. Al Kahfi: 49). Pada hakikatnya musibah yang menimpa kita adalah akibat kesalahan kita sendiri. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan musibah apapun yang menimpa kalian maka itu terjadi karena ulah perbuatan tangan-tangan kalian, dan Allah memaafkan banyak kesalahan orang.” (QS. Asy Syura: 30)
Maka sebenarnya kalau kita menyadarinya maka sudah semestinya kita bersabar dalam menghadapinya. Karena dengan kesabaran itu kita akan meraih pertolongan dari Allah. Bukankah Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfaal: 46). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudah menjanjikan, “Sesungguhnya pertolongan itu datang bersama dengan kesabaran.” (HR. Abdu bin Humaid dengan sanad dha’if)
Beristighfar ketika terjerumus dalam dosa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Semua anak Adam pasti berbuat dosa. Dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang gemar bertaubat.” (Hasan, HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Hakim) Oleh sebab itu orang yang terjerumus dalam perbuatan dosa wajib bertaubat kepada Allah Ta’ala. Allah Ta’ala memerintahkan semua orang yang beriman untuk bertaubat kepada-Nya. Allah berfirman yang artinya, “Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang beriman agar kalian beruntung.” (QS. An Nuur: 31).
Taubat itu akan diterima jika dilakukan dengan ikhlas dan penuh penyesalan. Selain itu seorang yang bertaubat dari suatu dosa harus meninggalkan perbuatan dosanya itu serta bertekad kuat di dalam hati untuk tidak melakukannya lagi. Apabila dosa itu menyangkut dengan hak orang lain maka harus mengembalikan hak orang tersebut atau minta maaf kepadanya. Dan taubat akan diterima jika dilakukan sebelum nyawa berada di tenggorokan dan sebelum matahari terbit dari sebelah barat.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka janganlah kalian berputus asa terhadap rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa.” (QS. Az Zumar: 53) Ayat ini berlaku bagi orang yang bertaubat. Maka dosa apapun yang pernah kita perbuat maka kewajiban kita adalah segera bertaubat darinya. Karena menunda-nunda taubat adalah dosa. Duhai, tahukah kita kapan kita akan mati sehingga demikian lancangnya kita menunda-nunda taubat? Sampai kapankah kelalaian ini akan kita teruskan? Apakah yang akan kita dapatkan dengan sekian banyak dosa yang pernah kita lakukan? Kesenangankah ataukah justru sebaliknya? Lalu mengapa kita menunda-nunda taubat? Apakah kita akan mengikuti rayuan iblis yang akan menyeret kita ke dalam neraka? Wahai saudara-saudaraku, siapakah kita apabila dibandingkan dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Padahal beliau saja dalam sehari bertaubat seratus kali. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai manusia bertaubatlah kalian kepada Allah. karena sesungguhnya aku bertaubat kepada-Nya sebanyak seratus kali dalam sehari.” (HR. Muslim). Kalau Nabi saja yang sudah dijamin masuk surga seperti ini, lantas bagaimana lagi dengan kita? Akankah kita tetap bertahan dengan dosa yang menghitamkan hati dan perlahan-lahan menyeret kita ke jurang neraka?!! [Ari Wahyudi]
buletin.or.id
READ MORE - Mendefinisikan Kebahagiaan

Budaya Jimat di Masyarakat

Pembaca yang semoga dirahmati oleh Allah, sungguh keadaan kaum muslimin di zaman kita sekarang ini telah sampai pada tahap yang cukup mengkhawatirkan. Sebagian kaum muslimin terjerumus dan asyik di dalam berbagai macam bentuk dosa. Bahkan di antara mereka ada yang terjerumus ke dalam dosa syirik. Namun yang lebih menyedihkan, mereka tidak mengetahui bahwa apa yang mereka lakukan itu termasuk ke dalam dosa syirik. Padahal Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An Nisa: 48). Pada ayat ini, Allah menyatakan bahwa sesungguhnya dosa syirik tidak akan diampuni oleh Allah selama-lamanya kecuali jika pelaku kesyirikan tersebut bertaubat dari dosa syirik yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengetahui mana sajakah perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada dosa syirik, agar dengan demikian kita dapat terhindar dari dosa yang sangat berbahaya ini.
Jimat adalah salah satu bentuk kesyirikan
Salah satu hal yang termasuk dalam kategori dosa syirik adalah jimat (tamimah). Sebagaimana sabda Rasulullah, “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan pelet termasuk kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Daud, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, ”Barangsiapa yang menggantungkan jimat, maka dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al Albani)

Hakekat Jimat
Jimat pada masa jahiliyah dahulu dikalungkan pada anak kecil atau binatang untuk menolak ‘ain (pandangan hasad/dengki, berakibat mudharat bagi orang yang dipandang). Namun pada hakekatnya jimat tidaklah terbatas pada bentuk dan kasus tersebut, akan tetapi mencakup semua benda dari bahan apapun, dikalungkan, digantungkan, diletakkan di tempat manapun dengan maksud untuk menghilangkan atau menangkal marabahaya. Jadi jimat bisa berupa kalung, batu akik, keris, cincin, sabuk (ikat pinggang), atau benda-benda yang digantungkan pada tempat tertentu, seperti di atas pintu, di dalam kendaraan, dipasang pada ikat pinggang, sebagai susuk, atau ditulis di kertas dan dimasukkan di saku celana, dan lain-lain dengan maksud mengusir atau tolak bala’. (Lihat Mutiara Faedah Kitab Tauhid). Ingatlah bahwa setiap jimat pasti tidak terbukti secara syari’at (dalil dari Allah dan Rasul-Nya) maupun logika (hasil eksperimen ilmiah) dapat memberikan manfaat atau menolak bahaya.
Budaya Jimat (alias syirik) di Masyarakat
Berikut adalah beberapa contoh budaya jimat di masyarakat saat ini.
  1. Apabila ada orang yang memasak sayur lodeh kemudian dimakan dengan tujuan untuk menolak bahaya (= tolak bala) seperti wabah demam berdarah (DB). Atau menggantungkan sesuatu paket tolak bala di pintu rumah (yang di dalamnya berisi sumbu kompor, janur kuning, daun gadap, dll) dengan tujuan menolak bala seperti tsunami dan gempa bumi. Maka sayur lodeh dan paket tolak bala tersebut termasuk jimat. Karena secara syari’at, Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyatakan demikian. Begitu juga secara akal atau berdasarkan eksperimen ilmiah, tidak ada hubungannya antara sayur lodeh atau paket tersebut dengan menghindarkan diri dari bahaya (seperti DB atau tsunami). Karena para ahli di bidang tersebut tidak pernah menyatakan, “Barangsiapa yang memakan sayur lodeh maka dia akan terhindar dari DB”. Adapun yang disyariatkan agar dapat menolak bahaya adalah dengan berdoa hanya kepada Allah untuk menghindarkan kita dari bahaya tersebut, sebagaimana Allah berfirman yang artinya, “Tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia menghendaki” (Al An’am: 41).
  2. Apabila ada seorang ibu yang meletakkan gunting (atau benda-benda lainnya) di samping bayinya yang baru lahir (sebagaimana yang terjadi di Jakarta dan daerah lainnya) dengan tujuan agar bayi tersebut terhindar dari gangguan setan, maka gunting tersebut adalah jimat. Penjelasannya sebagaimana contoh pertama di atas. Adapun cara yang benar adalah dengan membacakan doa kepada bayi tersebut di antara doanya sebagaimana yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam “‘u’idzuka bikalimatillahit tammati min kulli syaithonin wa hammatin wa min kulli ‘aynin lammatin” (HR Bukhari), yang artinya ‘Aku meminta perlindungan kepada Allah untukmu dengan kalimat Allah yang sempurna dari semua gangguan setan dan binatang, serta dari semua bahaya sihir ‘ain (pandangan hasad) yang tajam’.
  3. Apabila ada orang yang mengikuti tes penerimaan calon pegawai negeri sipil, kemudian orang tersebut menggunakan pulpen khusus (pulpen keberuntungan) untuk mengerjakan soal dan dia menganggap pulpen tersebut adalah sebab dia lulus tes, maka pulpen tersebut termasuk jimat. Karena tidak ada dasarnya dari Allah dan Rasul-Nya yang menyatakan kedua benda tersebut dapat mendatangkan keuntungan/manfaat. Lagipula, secara logika, tidak ada hubungannya antara lulus tes dengan pulpen. Sebagus dan semahal apapun pulpen yang digunakan, jika dia tidak dapat menjawab soal, tentu saja dia tidak akan lulus tes. Adapun sikap yang benar adalah hendaknya seseorang belajar sungguh-sungguh agar dapat lulus tes dan tidak lupa untuk selalu berdoa kepada Allah semata agar diluluskan dalam ujiannya tersebut.
Masih banyak contoh macam dan peristiwa lain yang dapat dinilai bahwa benda yang digunakan adalah jimat. Apabila tujuannya adalah untuk menghilangkan atau menolak bahaya dan sebabnya tidak terbukti baik secara syar’i maupun keilmiahan/logika, serta benda itu dikalungkan, digantung atau disimpan dengan cara apapun, maka benda-benda tersebut termasuk jimat.
Apabila Jimat berupa Ayat Al Qur’an…
Pembahasan berikutnya adalah bagaimana seandainya yang digantungkan berupa ayat Al-qur’an, ayat kursi atau dzikir-dzikir yang ada dalam syari’at ? Maka jawabannya adalah seandainya tujuan menggantungkannya tersebut adalah untuk dihafal, maka hal ini dibolehkan. Namun, apabila tujuan menggantungkan ayat tersebut untuk menolak bahaya, maka perkara ini termasuk suatu keharaman. Namun hal ini tidaklah sampai pada tingkatan syirik karena dia telah bersandar pada kalamullah, dan bukan bersandar pada makhluk.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang penggunaan jimat ini secara umum, tidak dikecualikan satu pun, termasuk Al Qur’an tidak dikecualikan juga. Sebab lainnya adalah hal ini dapat mengantarkan pelecehan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, semisal ketika orang yang menggantungkan ayat kursi di lehernya masuk ke kamar mandi dan tempat-tempat buruk lainnya.
Apabila seseorang menggantungkan ayat-ayat al-quran (atau tulisan Allah, Nabi Muhammad dan sebagainya) di mobil dengan tujuan agar terhindar dari kecelakaan, maka perbuatan seperti ini haram. Contoh lain adalah menyimpan Al-Qur’an ukuran super mini (yang untuk membacanya saja harus menggunakan kaca pembesar) di dompetnya, dengan tujuan menolak bahaya. Maka ini juga termasuk perbuatan yang haram. Hal ini bertentangan dengan tujuan diturunkannya Al-qur’an, yaitu untuk dibaca dan dijadikan pedoman hidup kita.
Adapun tulisan-tulisan arab yang tidak jelas maknanya (dikenal dengan sebutan rajah) dan biasa digantungkan di pintu-pintu rumah dengan tujuan untuk menolak bahaya (agar tidak kemasukan pencuri dan sebagainya), maka hal ini termasuk kesyirikan.
Bersandarlah hanya kepada Allah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa bersandar kepada sesuatu, maka ia akan disandarkan padanya.” (HR Ahmad dan Trimidzi, dihasankan oleh Al Arna’uth). Pada hadits ini, Rasulullah menjelaskan bahwa seseorang akan diserahkan kepada yang dia jadikan sandaran. Seorang muslim yang menyandarkan segala urusannya kepada Allah, maka Allah akan menolong, memudahkan dan mencukupi segala urusannya. Sebaliknya, orang yang bersandar kepada selain Allah (seperti bersandar pada jimat), maka Allah akan membiarkan orang tersebut dengan sandarannya, sehingga kita dapatkan orang-orang semacam ini hidupnya tidak pernah tenang. Dia hidup dengan kekhawatiran dan ketakutan. Dia takut apabila jimatnya hilang atau dicuri, dia kehilangan percaya diri ketika jimatnya tidak bersamanya. Sungguh hal ini merupakan suatu kerugian yang nyata. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang menyandarkan segala urusan hanya kepada-Nya semata. Cukuplah Allah tempat kami menggantungkan segala sesuatu. Wallahu a’lam. [Boris Tanesia]
buletin.muslim.or.id
READ MORE - Budaya Jimat di Masyarakat

Sabtu, 04 Agustus 2012

Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai

Para pembaca yang semoga selalu mendapatkan taufik dari Allah Ta’ala. Allah menciptakan kita, tidaklah untuk dibiarkan begitu saja. Tidaklah kita diciptakan hanya untuk makan dan minum atau hidup bebas dan gembira semata. Akan tetapi, ada tujuan yang mulia dan penuh hikmah di balik itu semua yaitu melakukan ibadah kepada Sang Maha Pencipta. Ibadah ini bisa diterima hanya dengan adanya tauhid di dalamnya. Jika terdapat noda-noda syirik, maka batal lah amal ibadah tersebut.
Tauhid adalah Syarat Diterimanya Ibadah
Perlu pembaca sekalian ketahui bahwa ibadah tidak akan diterima kecuali apabila memenuhi 2 syarat: Pertama, memurnikan ibadah kepada Allah semata (tauhid) dan tidak melakukan kesyirikan. Kedua, mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ibadah apapun yang tidak memenuhi salah satu dari kedua syarat ini, maka ibadah tersebut tidak diterima.
Fudhail bin ‘Iyadh mengatakan, ”Sesungguhnya apabila suatu amalan sudah dilakukan dengan ikhlas, namun tidak sesuai dengan tuntunan Rasulullah maka amalan tersebut tidak diterima. Dan apabila amalan tersebut sudah sesuai dengan tuntunan Rasulullah, namun tidak ikhlas, maka amalan tersebut juga tidak diterima, sampai amalan tersebut ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Jaami’ul Ulum wal Hikam)
Ada permisalan yang sangat bagus mengenai syarat ibadah yang pertama yaitu tauhid. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam risalahnya yang berjudul Al Qawa’idul Arba’. Beliau rahimahullah berkata, ”Ketahuilah, sesungguhnya ibadah tidaklah disebut ibadah kecuali dengan tauhid (yaitu memurnikan ibadah kepada Allah semata, pen). Sebagaimana shalat tidaklah disebut shalat kecuali dalam keadaan thaharah (baca: bersuci). Apabila syirik masuk dalam ibadah tadi, maka ibadah itu batal. Sebagaimana hadats masuk dalam thaharah.”
Maka setiap ibadah yang di dalamnya tidak terdapat tauhid sehingga jatuh kepada syirik, maka amalan seperti itu tidak bernilai selamanya. Oleh karena itu, tidaklah dinamakan ibadah kecuali bersama tauhid. Adapun jika tanpa tauhid sebagaimana seseorang bersedekah, memberi pinjaman utang, berbuat baik kepada manusia atau semacamnya, namun tidak disertai dengan tauhid (ikhlas mengharap ridha Allah) maka dia telah jatuh dalam firman Allah yang artinya, ”Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu bagaikan debu yang beterbangan.” (Al Furqon : 23). (Abrazul Fawa’id)
Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai
Syaikh rahimahullah membuat permisalan yang sangat mudah dipahami dengan permisalan shalat. Tidaklah dinamakan shalat kecuali adanya thaharah yaitu berwudhu. Apabila seseorang tidak dalam keadaan berwudhu lalu melakukan shalat yang banyak, memanjangkan berdiri, ruku’, dan sujudnya, serta memperbagus shalatnya, maka seluruh kaum muslimin sepakat shalatnya tidak sah. Bahkan dia dihukumi telah meninggalkan shalat karena agungnya syarat shalat ini. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Allah tidak akan menerima shalat seseorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai dia berwudhu.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Sebagaimana shalat dapat batal karena tidak adanya thaharah, maka ibadah juga bisa batal karena tidak adanya tauhid di dalamnya. Namun syarat ikhlas dan tauhid agar ibadah diterima tentu saja jauh berbeda jika dibanding dengan syarat thaharah agar shalat diterima. Apabila seseorang shalat dalam keadaan hadats dengan sengaja, maka terdapat perselisihan pendapat di antara ulama tentang kafirnya orang ini. Akan tetapi, para ulama tidak pernah berselisih pendapat tentang kafirnya orang yang beribadah pada Allah dengan berbuat syirik kepada-Nya (yaitu syirik akbar) yang dengan ini akan menjadikan tidak ada satu amalnya pun diterima. (Lihat Syarhul Qawa’idil Arba’, Syaikh Sholeh Alu Syaikh)
Syirik Akbar Akan Menghapus Seluruh Amal
Ingatlah saudaraku, seseorang bisa dinyatakan terhapus seluruh amalnya (kafir) bukan hanya semata-mata dengan berpindah agama (alias: murtad). Akan tetapi, seseorang bisa saja kafir dengan berbuat syirik yaitu syirik akbar, walaupun dalam kehidupannya dia adalah orang yang rajin melakukan shalat malam. Apabila dia melakukan satu syirik akbar saja, maka dia bisa keluar dari agama ini dan amal-amal kebaikan yang dilakukannya akan terhapus. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” (Al An’am: 88). Apabila dia tidak bertaubat darinya maka diharamkan baginya surga, sebagaimana firman-Nya yang artinya, ”Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolongpun.” (Al Maidah: 72)
Contoh syirik akbar adalah melakukan tumbal berupa sembelihan kepala kerbau, kemudian di-larung (dilabuhkan) di laut selatan agar laut tersebut tidak ngamuk (yang kata pelaku syirik: tumbal tersebut dipersembahkan kepada penguasa laut selatan yaitu jin Nyi Roro Kidul). Padahal menyembelih merupakan salah satu aktivitas ibadah karena di dalamnya terkandung unsur ibadah yaitu merendahkan diri dan tunduk patuh. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, ”Sesungguhnya shalatku, sembelihanku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.” (Al An’am: 162). Barangsiapa yang memalingkan perkara ibadah yang satu ini kepada selain Allah maka dia telah jatuh dalam perbuatan syirik akbar dan pelakunya keluar dari Islam. (Lihat At Tanbihaat Al Mukhtashot Syarh Al Wajibat)
Syirik Ashgar Dapat Menghapus Amal Ibadah
Jenis syirik yang berada di bawah syirik akbar dan tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam adalah syirik ashgar (syirik kecil). Walaupun dinamakan syirik kecil, akan tetapi tetap saja dosanya lebih besar dari dosa besar seperti berzina dan mencuri. Salah satu contohnya adalah riya’ yaitu memamerkan amal ibadah untuk mendapatkan pujian dari orang lain. Dosa ini yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat khawatirkan akan menimpa para sahabat dan umatnya. Pada kenyataannya banyak manusia yang terjerumus di dalam dosa syirik yang satu ini. Banyak orang yang mengerjakan shalat dan membaca Al Qur’an ingin dipuji dengan memperlihatkan ibadah yang mulia ini kepada orang lain. Tatkala orang lain melihatnya, dia memperpanjang ruku’ dan sujudnya dan dia memperbagus bacaannya dan menangis dengan dibuat-buat. Semua ini dilakukan agar mendapat pujian dari orang lain, agar dianggap sebagai ahli ibadah dan Qori’ (mahir membaca Al Qur’an).
Wahai saudaraku, waspadalah terhadap jerat setan yang dapat membatalkan amal ibadahmu ini!! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, ”Allah berfirman: Aku itu paling tidak butuh sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan lantas dia mencampurinya dengan berbuat syirik di dalamnya dengan selain-Ku, maka Aku akan tinggalkan dia bersama amal syiriknya itu.” (HR. Muslim). Apabila ibadah yang dilakukan murni karena riya’, maka amal tersebut batal. Namun apabila riya’ tiba-tiba muncul di pertengahan ibadah lalu pelakunya berusaha keras untuk menghilangkannya, maka hal ini tidaklah membatalkan ibadahnya. Namun apabila riya’ tersebut tidak dihilangkan, malah dinikmati, maka hal ini dapat membatalkan amal ibadah.
Wahai saudaraku, bersikaplah sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salam -kekasih Allah yang bersih tauhidnya dari perbuatan syirik-. Beliau masih berdo’a kepada Allah: ”Jauhkanlah aku beserta anak cucuku dari menyembah berhala-berhala.” (Ibrahim: 35). Jika beliau yang sempurna tauhidnya saja masih takut terhadap syirik, tentu kita semua yang miskin ilmu dan iman tidak boleh merasa aman darinya. Ibrahim At Taimi berkata: ”Dan siapakah yang lebih merasa aman tertimpa bala’ (yaitu syirik) setelah Nabi Ibrahim.” Tidaklah seseorang merasa aman dari syirik kecuali dia adalah orang yang paling bodoh tentang syirik. (Fathul Majid)
Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu sedang kami mengetahuinya dan kami memohon ampunan kepada-Mu atas sesuatu yang kami tidak mengetahuinya. [Muhammad Abduh Tuasikal]
buletin.muslim.or.id
READ MORE - Tanpa Tauhid, Amal Ibadah Tidaklah Bernilai