Cari Artikel

Rabu, 21 September 2011

Asma Pada Anak

Asma merupakan penyakit saluran napas kronik (menahun) yang paling sering ditemukan, terutama di negara maju. Penyakit ini umumnya dimulai sejak masa anak-anak. Dampak negatifnya seperti menyebabkan anak sering tidak masuk sekolah, membatasi kegiatan olahraga, dan aktivitas seluruh keluarga.
Pedoman Nasional Asma Anak (Indonesia) mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan gejala wheezing/mengi dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut:
  1. timbul secara episodik dan/atau kronik,
  2. cenderung pada malam/dini hari (nokturnal),
  3. musiman,
  4. adanya faktor pencetus di antaranya aktivitas fisik, dan
  5. bersifat reversibel (bisa sembuh seperti sedia kala) baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta
  6. adanya riwayat asma atau atopi (kecenderungan mengidap alergi) lain pada pasien/keluarganya,
  7. sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan.

MEKANISME TERJADINYA ASMA

Konsep terkini mekanisme terjadinya asma, yaitu asma merupakan suatu proses inflamasi (peradangan) kronik/menahun yang khas, melibatkan dinding saluran respiratorik/napas, menyebabkan terbatasnya aliran udara, dan peningkatan reaktivitas (hiperreaktif/hipersensitif) saluran napas. Hiperreaktivitas ini merupakan awal terjadinya penyempitan saluran napas, sebagai respon terhadap berbagai macam rangsang.
Gambaran khas adanya inflamasi saluran napas adalah aktivasi sel-sel dalam darah dan sel berupa eosinofil, sel mast, makrofag, dan sel limfosit T pada mukosa (selaput lendir) dan lumen (muara) saluran napas. Perubahan ini dapat terjadi, meskipun secara klinis asmanya tidak bergejala. Sejalan dengan proses peradangan, perlukaan epitel (lapisan terluar) bronkus (batang paru-paru) merangsang proses perbaikan saluran napas yang menghasilkan perubahan struktural dan fungsional, dikenal dengan istilah remodelling.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis

Mengi/wheezing berulang dan/atau batuk kronik berulang merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Termasuk yang perlu dipertimbangkan kemungkinan asma adalah anak-anak yang hanya menunjukkan batuk sebagai satu-satunya tanda, dan pada saat diperiksa tanda wheezing, sesak dan lain-lain sedang tidak timbul.
Asma sulit didiagnosis pada anak di bawah 3 tahun. Untuk anak yang sudah besar (>6 tahun) pemeriksaan faal/fungsi paru sebaiknya dilakukan. Uji fungsi paru yang sederhana dengan peak flow meter, atau yang lebih lengkap dengan spirometer. Lainnya bisa melalui uji provokasi bronkus dengan histamin, metakolin, latihan (exercise), udara kering dan dingin, atau dengan NaCl hipertonis.
Pemeriksaan ini berguna untuk mendukung diagnosis asma anak melalui 3 cara, yaitu didapatkannya:
  • Variabilitas pada PFR (peak flow rate) atau FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) ?15%
Variabilitas harian adalah perbedaan nilai (peningkatan/penurunan) hasil PFR dalam satu hari. Penilaian yang baik dapat dilakukan dengan variabilitas mingguan yang pemeriksaannya berlangsung ? 2 minggu.
  • Reversibilitas pada PFR atau FEV1 ?15%
Reversibilitas adalah perbedaan nilai (peningkatan) PFR atau FEV1 setelah pemberian inhalasi bronkodilator.
  • Penurunan ?20% pada FEV1 (PD20 atau PC20) setelah provokasi bronkus dengan metakolin atau histamin.
Penggunaan peak flow meter merupakan hal penting dan perlu diupayakan, karena selain mendukung diagnosis, juga mengetahui keberhasilan tata laksana asma. Jika tidak tersedia, dapat menggunakan Lembar Catatan Harian sebagai alternatif.
Pada anak dengan tanda dan gejala asma yang jelas, serta respon terhadap pemberian obat asma baik sekali, maka tidak perlu pemeriksaan diagnostik lebih lanjut.

Klasifikasi Derajat Penyakit Asma Anak

Dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tata Laksana Asma Jangka Panjang

Tujuan tata laksana asma anak secara umum adalah untuk menjamin tercapainya potensi tumbuh kembang anak secara optimal. Secara lebih rinci, tujuan yang ingin dicapai adalah:
  1. Anak dapat menjalani aktivitas normalnya, termasuk bermain dan berolahraga.
  2. Sesedikit mungkin angka absensi sekolah.
  3. Gejala tidak timbul siang ataupun malam hari.
  4. Uji fungsi paru senormal mungkin, tidak ada variasi diurnal (dalam 24 jam) yang mencolok.
  5. Kebutuhan obat seminimal mungkin dan tidak ada serangan.
  6. Efek samping obat dapat dicegah agar tidak atau sesedikit mungkin timbul, terutama yang mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Apabila tujuan ini belum tercapai, maka perlu reevaluasi tata laksananya.

Tata Laksana Medikamentosa (dengan Obat-obatan)

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat pengendali (controller).
Reliever, sering disebut obat serangan, digunakan untuk meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan sudah tidak ada gejala lagi, maka obat ini tidak digunakan lagi.
Controller, sering disebut obat pencegah, digunakan untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi respiratorik kronik (peradangan saluran napas menahun). Dengan demikian pemakaian obat ini terus-menerus dalam jangka waktu relatif lama, tergantung derajat penyakit asma, dan responnya terhadap pengobatan/penanggulangan. Controller diberikan pada Asma Episodik Sering dan Asma Persisten.

Asma Episodik Jarang

Asma episodik jarang cukup diobati dengan reliever berupa bronkodilator (melebarkan bronkus/batang paru-baru) beta agonis hirupan (inhaler/spray) kerja pendek (short acting ?2-agonist, SABA) atau golongan xantin kerja cepat, bila terjadi gejala/serangan.
Kendala penggunaan spray ini adalah harganya yang mahal dan tidak tersedia di semua tempat. Selain itu pemakaian inhaler (Metered Dose Inhaler/MDI atau Dry Powder Inhaler/DPI) ini memerlukan teknik penggunaan yang benar (untuk anak besar), dan memerlukan alat bantu (untuk anak kecil/bayi). Bila obat hirupan tidak ada, maka beta agonis diberikan per oral (obat minum).
Penggunaan xantin kerja cepat (teofilin) sebagai bronkodilator makin kurang perannya dalam tata laksana asma, karena batas keamanannya (margin of safety) sempit. Namun mengingat di Indonesia obat beta agonis oral tidak selalu ada, maka dapat menggunakan teofilin dengan memperhatikan kemungkinan timbulnya efek samping. Selanjutnya dapat dilihat di lampiran 3.

Asma Episodik Sering

Jika penggunaan beta agonis hirupan sudah lebih dari 3x per minggu (tanpa menghitung penggunaan sebelum aktivitas fisik), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali (controller) diperlukan, yakni steroid hirupan dosis rendah. Obat steroid yang sering digunakan pada anak adalah budesonid, sehingga digunakan sebagai standar.
Dosis rendah steroid hirupan adalah setara dengan 100-200 mg/hari budesonid (50-100 mg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 200-400 mg/hari budesonid untuk anak berusia di atas 12 tahun. Pada penggunaan dosis 100-200 mg/hari belum dilaporkan adanya efek samping jangka panjang.
Sesuai dengan mekanisme dasar asma yaitu inflamasi/peradangan kronik, controller berupa anti inflamasi membutuhkan waktu untuk menimbulkan efek terapi. Penilaian dilakukan setelah 6-8 minggu, yaitu waktu yang diperlukan untuk mengendalikan inflamasinya. Apabila masih tidak respons (masih terdapat gejala asma atau gangguan tidur atau aktivitas sehari-hari), maka dilanjutkan dengan tahap kedua, yaitu menaikkan dosis steroid hirupan sampai dengan 400 mg/hari, yang termasuk dalam tata laksana asma persisten. Selanjutnya dapat dilihat dalam lampiran 3.
Prinsip pengobatan adalah: jika tata laksana suatu derajat penyakit asma sudah sesuai dengan panduan, namun respon tetap tidak baik dalam 6-8 minggu, maka derajat tata laksana berpindah ke yang lebih berat (step-up). Sebaliknya jika asmanya terkendali dalam 6-8 minggu, maka derajatnya beralih ke yang lebih ringan (step-down). Bila memungkinkan, steroid hirupan dihentikan penggunaannya.
Catatan: sebelum melakukan step-up, perlu dievaluasi (1) pelaksanaan penghindaran pencetus, (2) cara penggunaan obat, dan (3) penyakit penyerta yang mempersulit pengendalian asma (seperti rinitis dan sinusitis).

Asma Persisten

Cara pemberian steroid hirupan apakah dimulai dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya dimulai dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya. Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya dosis steroid hirupan diturunkan sampai dosis terkecil yang masih optimal.
Setelah pemberian steroid hirupan dosis rendah tidak mempunyai respons yang baik, diperlukan terapi alternatif pengganti, yaitu meningkatkan steroid menjadi dosis medium atau tetap steroid hirupan dosis rendah ditambah dengan LABA (long acting beta-2 agonist) atau ditambahkan teophylline slow release (TSR) atau ditambahkan anti-leukotriene receptor (ALTR). Dosis medium adalah setara dengan 200-400 µg/hari budosenid (100-200 µg/hari flutikason) untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan 400-600 µg/hari budosenid (200-300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Apabila dengan pengobatan lapis kedua selama 6-8 minggu tetap terdapat gejala asma, maka dapat diberikan alternatif lapis ketiga, yaitu dapat meningkatkan dosis kortikosteroid sampai dengan dosis tinggi, atau tetap dosis medium ditambahkan dengan LABA, atau TSR, atau ALTR. Yang dimaksud dosis tinggi adalah setara dengan > 400 µg/hari budesonid (> 200 µg/hari flutikason), untuk anak berusia kurang dari 12 tahun, dan > 600 µg/hari budesonid (> 300 µg/hari flutikason) untuk anak berusia di atas 12 tahun.
Penambahan LABA pada steroid hirupan dibuktikan dapat memperbaiki FEV1, menurunkan gejala asma, dan memperbaiki kualitas hidup. Apabila dosis steroid hirupan sudah mencapai > 800 mg/hari namun tidak mencapai respon, maka baru menggunakan steroid oral (sistemik). Jadi penggunaan kortikosteroid oral sebagai controller (pengendali) adalah jalan terakhir. Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek samping obat. Sebagai dosis awal, steroid oral dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. Efek samping steroid sistemik dapat dilihat dalam lampiran 4.
Pemberian antileukotrien (zafirlukas) dikontraindikasikan pada kelainan hati. Pemberian obat anti histamin generasi baru non sedatif (misalnya setirizin dan ketotifen), dipertimbangkan pada anak dengan asma yang disertai rinitis.

Cara Pemberian Obat

Cara pemberian obat asma harus disesuaikan dengan umur anak, karena perbedaan kemampuan menggunakan alat inhalasi. Perlu dilakukan pelatihan yang benar dan berulang kali.
Pemakaian alat perenggang (spacer) mengurangi deposisi (penumpukan) obat dalam mulut (orofaring), sehingga mengurangi jumlah obat yang tertelan, dan mengurangi efek sistemik. Deposisi (penyimpanan) dalam paru pun lebih baik, sehingga didapatkan efek terapetik (pengobatan) yang baik. Obat hirupan dalam bentuk bubuk kering (DPI = Dry Powder Inhaler) seperti Spinhaler, Diskhaler, Rotahaler, Turbuhaler, Easyhaler, Twisthaler memerlukan inspirasi (upaya menarik/menghirup napas) yang kuat. Umumnya bentuk ini dianjurkan untuk anak usia sekolah.

Pencegahan dan Intervensi Dini

Pencegahan dan tindakan dini harus menjadi tujuan utama dalam menangani anak asma. Pengendalian lingkungan, pemberian ASI ekslusif minimal 6 bulan, penghindaran makanan berpotensi alergenik (mampu mencetuskan alergi), pengurangan pajanan terhadap tungau debu rumah dan rontokan bulu binatang, terbukti mengurangi manifestasi alergi makanan, dan khususnya dermatitis atopik pada bayi, juga asma.
Penggunaan antihistamin non sedatif (tidak menyebabkan kantuk) seperti ketotifen dan setirizin jangka panjang dilaporkan dapat mencegah terjadinya asma pada anak dengan dermatitis atopik. Namun obat-obat ini tidak bermanfaat sebagai obat pengendali asma (controller),

Faktor Alergi dan Lingkungan (Menghindari Pencetus)

Saat ini telah banyak bukti bahwa alergi merupakan salah satu faktor penting berkembangnya asma. Paling tidak 75-90% anak asma balita terbukti mengidap alergi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Atopi (kecenderungan mempunyai satu atau beberapa jenis dari kelompok besar alergi) merupakan faktor risiko yang nyata untuk menetapnya hiperreaktivitas bronkus dan gejala asma. Terdapat hubungan antara pajanan alergen (pencetus alergi) dengan sensitisasi. Pajanan yang tinggi berhubungan dengan peningkatan gejala asma pada anak.
Pengendalian lingkungan harus dilakukan untuk setiap anak asma. Penghindaran terhadap asap rokok merupakan rekomendasi penting. Keluarga dengan anak asma dianjurkan tidak memelihara binatang berbulu, seperti kucing, anjing, burung. Perbaikan ventilasi ruangan, dan penghindaran kelembaban kamar perlu untuk anak yang sensitif terhadap debu rumah dan tungaunya.
Perlu ditekankan bahwa anak asma seringkali menderita rinitis alergi dan/atau sinusitis yang membuat asmanya sukar dikendalikan. Deteksi dan diagnosis kedua kelainan itu yang diikuti dengan terapi adekuat akan memperbaiki gejala asmanya.
Beberapa penelitian menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Adanya asma pada orangtua, dan dermatitis (penyakit kulit eksim) atopik pada anak dengan mengi merupakan salah satu indikator terjadinya asma di kemudian hari. Apabila terdapat kedua hal tersebut, maka kemungkinan menjadi asma lebih besar.

Tata Laksana Serangan Asma

GINA membagi tata laksana serangan asma menjadi dua, tata laksana di rumah dan di rumah sakit. Tata laksana di rumah dilakukan oleh anak asma (atau orangtuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh mereka yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur, dan mempunyai pendidikan yang cukup. Terapi awal berupa inhalasi beta agonis kerja pendek hingga tiga kali dalam satu jam. Kemudian anak atau keluarganya diminta melakukan penilaian respons untuk penentuan derajat serangan, untuk ditindaklanjuti sesuai derajatnya. Namun untuk kondisi di negara kita, pemberian terapi awal di rumah seperti di atas cukup riskan, dan kemampuan melakukan penilaian juga masih dipertanyakan. Dengan alasan demikian, maka apabila setelah dilakukan inhalasi satu kali tidak mempunyai respons yang baik, maka dianjurkan mencari pertolongan dokter.

Obat Lain untuk Serangan Asma

  • Magnesium Sulfat
Pada penelitian multisenter, pemberian magnesium sulfat intravena (infus) di rumah sakit mempunyai efektivitas sama dengan pemberian beta agonis.
  • Mukolitik (pengencer dahak)
Pemberian mukolitik (misalnya Bisolvon sirup) pada serangan asma dapat saja diberikan, tetapi harus berhati-hati pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Pemberian mukolitik secara inhalasi (hirupan) tidak mempunyai efek yang signifikan, tetapi harus berhati-hati pada serangan asma berat.
  • Antibiotika
Pemberian antibiotika pada asma tidak dianjurkan, karena sebagian besar pencetusnya bukan infeksi bakteri, melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada infeksi saluran napas yang dicurigai karena bakteri, atau dugaan sinusitis yang menyertai asma.
  • Obat sedasi (mempunyai efek membuat kantuk)
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak dianjurkan, karena menekan pernapasan.
  • Anti histamin (anti alergi)
Anti histamin jangan diberikan pada serangan asma, karena tidak mempunyai efek yang bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.

TERAPI INHALASI

Pengobatan asma bertujuan untuk menghentikan serangan asma secepat mungkin, serta mencegah serangan berikutnya, ataupun bila timbul serangan kembali, serangannya tidak berat. Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu diberi obat bronkodilator pada saat serangan, dan obat anti inflamasi sebagai obat pengendali untuk menurunkan inflamasi yang timbul.
Pemberian obat pada asma dapat melalui berbagai macam cara, yaitu parenteral (melalui infus), per oral (tablet diminum), atau per inhalasi. Pemberian per inhalasi adalah pemberian obat secara langsung ke dalam saluran napas melalui hirupan. Pada asma, penggunaan obat secara inhalasi dapat mengurangi efek samping yang sering terjadi pada pemberian parenteral atau per oral, karena dosis yang sangat kecil dibandingkan jenis lainnya.
Untuk mendapatkan manfaat obat yang optimal , obat yang diberikan per inhalasi harus dapat mencapai tempat kerjanya di dalam saluran napas. Obat yang digunakan biasanya dalam bentuk aerosol, yaitu suspensi partikel dalam gas.

Jenis Terapi Inhalasi

Pemberian aerosol yang idel adalah dengan alat yang sederhana, mudah dibawa, tidak mahal, secara selektif mencapai saluran napas bawah, hanya sedikit yang tertinggal di saluran napas atas, serta dapat digunakan oleh anak, orang cacat, dan orang tua. Namun keadaan ideal tersebut tidak dapat sepenuhnya tercapai.
Berikut beberapa alat terapi inhalasi:
  • Metered Dose Inhaler (MDI)
    1. MDI tanpa Spacer
    2. MDI dengan Spacer
Spacer (alat penyambung) akan menambah jarak antara alat dengan mulut, sehingga kecepatan aerosol pada saat dihisap menjadi berkurang. Hal ini mengurangi pengendapan di orofaring (saluran napas atas). Spacer ini berupa tabung (dapat bervolume 80 ml) dengan panjang sekitar 10-20 cm, atau bentuk lain berupa kerucut dengan volume 700-1000 ml. Penggunaan spacer ini sangat menguntungkan pada anak.
  • Dry Powder Inhaler (DPI)
Penggunaan obat dry powder (serbuk kering) pada DPI memerlukan hirupan yang cukup kuat. Pada anak yang kecil, hal ini sulit dilakukan. Pada anak yang lebih besar, penggunaan obat serbuk ini dapat lebih mudah, karena kurang memerlukan koordinasi dibandingkan MDI. Deposisi (penyimpanan) obat pada paru lebih tinggi dibandingkan MDI dan lebih konstan. Sehingga dianjurkan diberikan pada anak di atas 5 tahun.
  • Nebulizer
Alat nebulizer dapat mengubah obat yang berbentuk larutan menjadi aerosol secara terus-menerus, dengan tenaga yang berasal dari udara yang dipadatkan, atau gelombang ultrasonik. Aerosol yang terbentuk dihirup penderita melalui mouth piece atau sungkup.
Bronkodilator yang diberikan dengan nebulizer memberikan efek bronkodilatasi yang bermakna tanpa menimbulkan efek samping. Hasil pengobatan dengan nebulizer lebih banyak bergantung pada jenis nebulizer yang digunakan. Ada nebulizer yang menghasilkan partikel aerosol terus-menerus, ada juga yang dapat diatur sehingga aerosol hanya timbul pada saat penderita melakukan inhalasi, sehingga obat tdak banyak terbuang.

Sumber

Pedoman Nasional Asma Anak, UKK Pulmonologi PP Ikatan Dokter Anak Indonesia 2004
Referensi mengenai Asma pada anak lainnya bisa Anda dapatkan di:
www.aaaai.org/members/resources/initiatives/pediatricasthmaguidelines/default.htm
dr. Arifianto

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Monggo, Silahkan berkomentar